Kampung Naga merupakan sebuah objek wisata unik yang sering diekspos di berbagai media massa. Namun demikian, di mana objek wisata ini berada dan apa yang dapat dinikmati dari objek wisata ini, masih banyak yang belum tahu secara persis. Ternyata justru wisman (wisatawan mancanegara) yang banyak berkunjung ke lokasi wisata yang letaknya di antara daerah Garut - Tasikmalaya, Jawa Barat ini.
Objek wisata ini terasa agak tersembunyi berada di suatu lembah atau lereng bukit, di sisi jalan raya Garut - Tasik. Tepatnya setelah melewati batas Kabupaten Garut, dan mulai masuk kawasan Tasik. Jadi Kampung Naga termasuk wilayah administrasi desa Neglasari, kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Daya tarik wisata lingkungan, sesungguhnya dapat dilihat dari keaslian kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Maka itu, wajar kalau Kampung Naga menjadi salah satu tujuan wisata, karena di desa yang kecil penduduknya masih mempertahankan nilai-nilai tradisional.
Kampung kecil ini benar-benar sangat unik. Kehidupan sosial budaya masyarakatnya masih asli seperti tempo doeloe. Adat istiadat lama warisan karuhun, kokolot atau nenek moyang dipertahankan turun-temurun, dan menjadi falsafah hidup masyarakatnya. Penduduk kampung Naga disebut Orang Naga, sedangkan keturunannya yang telah pindah keluar daerah disebut warga Senaga.
Kampung Naga memiliki sejarah panjang, konon didirikan oleh Mbah Dalem Singaparna, perwira kerajaan Mataram (yang ketika itu beribukota di Pajang, barat daya Surakarta), yang mengalami kekalahan perang dan malu untuk kembali pulang menghadapi junjungannya. Sayang catatan sejarah dalam bahasa Sanskerta yang tertulis pada daun lontar ikut terbakar, ketika kampung itu dibakar gerombolan DI/TII tahun 1956. Pada tahun 1958, didukung pemerintah serta dengan bantuan rancang bangun dari ITB, kampung itu dibangun kembali, dengan penataan desa tradisional.
Di kampung itu terdapat ratusan bangunan tertata rapi bagai barisan berbentuk segi tiga. Di dataran yang lebih tinggi jumlah rumah makin mengecil, dan akhirnya terlihat tinggal dua buah rumah. Rumah-rumah tersebut dibangun dengan memperhatikan adat-istiadat Sunda dan segi kesehatan. Semuanya berbentuk rumah panggung, dengan lantai setinggi sekitar setengah meter dari permukaan tanah dengan bahan bangunan yang hampir seragam. Berkonstruksi kayu, sebagian dinding dari anyaman bambu, dan beratap ijuk. Rumah panggung itu dialasi dengan batu padas.
Batu kali punya fungsi penting dalam kompleks rumah-rumah di Kampung Naga. Batu-batu diatur sedemikian rupa, dan berfungsi sebagai pembatas serta pencegah erosi. Lokasi perkampungan yang diawali dari lembah lalu ke bagian lereng bukit, memang bisa terkena erosi, apalagi jika hujan turun. Batu-batu juga ditata supaya mampu menahan air cururan atap agar tidak mengalir ke bawah rumah yang bisa membuat rumah jadi lembab. Di antara deretan rumah-rumah yang agak rapat, batu-batu itu lantas membentuk semacam selokan (pelimbahan) meski saat itu kering.
Dinding batu bata ditabukan, kecuali tembok batu kali. Semua rumah tinggal berbaris menghadap timur atau barat, kecuali bangunan umum, yaitu balai pertemuan, Mesjid dan Bumi Ageung (tempat menyimpan warisan pusaka leluhur) yang menghadap arah lain. Di muka kedua bangunan terdapat ruang terbuka sebagai ruang publik.
Desa bersuasana tenang tenteram ini dihuni oleh penduduk asli dan mereka hidup teratur sebagai petani dan membuat kerajinan tangan bambu sebagai tambahan. Di antara rumah penduduk ada yang digunakan sebagai bengkel kerajinan, dan kini di depan beberapa rumah dijadikan toko yang menjual cendera mata yang terbuat dari bambu.
Perilaku penduduk Kampung Naga umumnya ramah-tamah, mereka menerima dengan senang hati kunjungan para wisatawan, dan tak enggan menjamu.
Melihat sendiri Kampung Naga, berarti harus siap naik turun tangga. Namun ini baik untuk latihan jantung sehat. Dan meski perjalanan ke kampung unik ini melelahkan, siapa pun merasa gembira karena suasana dapat ditemuai di tempat lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar